Panjinusantara, Badung – Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Bali, melalui Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, melakukan tindakan tegas terhadap dua orang Warga Negara Asing (WNA) yang melanggar aturan keimigrasian di wilayah Bali, Jumat (19/07/2024).
WNA tersebut adalah seorang pria inisial ACH warga Negara Australia, yang melakukan tindakan mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat dengan melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selanjutnya yang kedua, adalah seorang pria inisial AFG warga Negara Nigeria, yang terbukti tinggal melebihi izin yang diberikan.
Kepala Rumah Detensi (Rudenim) Denpasar, Gede Dudy Duwita, menerangkan bahwa ACH, seorang pria berkewarganegaraan Australia, telah menjalani hukuman di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Kerobokan, Bali.
Pria kelahiran Oxford tahun 1973 ini, terakhir kali datang ke Indonesia pada 17 Februari 2024, melalui Bandara Internasional Ngurah Rai Bali dengan menggunakan Visa on Arrival, terlibat dalam kasus KDRT yang membuatnya harus menjalani masa tahanan.
Dudy, menjelaskan bahwa Penahanan terhadap ACH bermula dari kasus KDRT dilakukan terhadap isterinya yang merupakan seorang WNI, kejadian itu terjadi sejak Juli 2023.
Setelah ditahan di Polresta Denpasar selama 60 hari, kemudian ACH dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Kerobokan, dan menjalani masa hukuman selama 4 bulan 20 hari.
“Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan Surat Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 351/Pid.Sus/2024/PN Dps tertanggal 4 Juli 2024, karena melanggar Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004,” ujarnya
“Setelah dinyatakan bebas, selanjutnya ACH harus menjalani proses lebih lanjut di Kantor Imigrasi Ngurah Rai,” ungkapnya.
Atas perbuatan yang dilakukannya, ACH pun menyadari bahwa dirinya telah melakukan pelanggaran keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yaitu melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum serta tidak menghormati atau menaati peraturan perundang-undangan. Kepada ACH dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian berupa pendeportasian.
Sebagai langkah selanjutnya, ACH telah berusaha untuk menyediakan tiket penerbangan guna memfasilitasi proses deportasinya kembali ke Australia.
Selanjutnya Kepala Rumah Detensi (Rudenim) Denpasar, Gede Dudy Duwita, menerangkan kasus lainnya, yakni AFG seorang pria berkewarganegaraan Nigeria.
Ia menjelaskan bahwa AFG telah menjalani pemeriksaan oleh pihak imigrasi Ngurah Rai terkait keberadaan, kegiatan, dan izin tinggalnya di wilayah Indonesia.
Pria kelahiran tahun 2001, ini pertama kali datang ke Indonesia pada 1 Juni 2023, melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dengan menggunakan Izin Tinggal Kunjungan (B211A).
Dudy, mengatakan bahwa tujuan AFG datang ke Indonesia adalah untuk berlibur dan bertemu dengan teman-temannya yang juga warga negara Nigeria.
Dalam keterangan, AFG mengaku sempat tinggal di Tangerang bersama seorang warga negara Nigeria selama satu bulan, sebelum akhirnya pindah ke Bali dan menetap di daerah Denpasar.
AFG di Denpasar tinggal di dua tempat, yaitu di wilayah Sesetan, Denpasar Selatan, sebelum akhirnya tinggal bersama temannya di Jalan Gunung Tangkuban Perahu, Denpasar.
Selama berada di Indonesia, AFG menghabiskan waktunya untuk berlibur, bertemu teman-teman, pergi ke pantai, dan klub. Untuk memenuhi biaya hidupnya di Bali, AFG mengaku memperoleh uang dari tabungan dan kiriman dari keluarganya di Nigeria.
Dudy, mengatakan AFG mengakui bahwa dirinya telah melebihi masa berlaku izin tinggalnya di Indonesia. Dirinya terhitung telah overstay selama 334 hari sejak 30 Juli 2023.
Alasan AFG untuk tidak memperpanjang izin tinggalnya dikarenakan biayanya mahal yang dikenakan oleh agen yang membantunya. AFG juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa dirinya akan ditahan, jika mengurus perpanjangan izin tinggalnya secara mandiri di Imigrasi.
Meskipun mengetahui bahwa tinggal di Indonesia lebih dari 60 hari setelah masa berlaku izin tinggal berakhir merupakan pelanggaran keimigrasian, AFG tetap memilih untuk overstay dengan harapan mendapat solusi dari pihak agen dan keluar dari Indonesia.
AFG mengakui, bahwa dirinya belum pernah melaporkan masalah overstaynya ke Konsulat atau Kedutaan Nigeria di Indonesia.
Kini, AFG menghadapi tindakan administratif keimigrasian dari pihak berwenang Indonesia, dan harus mempertanggungjawabkan tindakannya sesuai dengan hukum yang berlaku.
ACH diterima oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai pada 9 Juli 2024, dan kepadanya telah ditetapkan melanggar Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Disebutkan bahwa, “Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan”.
Sementara AFG didetensi oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai pada 30 Mei 2024, dan kepadanya telah ditetapkan telah melanggar Pasal 78 ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Disebutkan bahwa “Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan.”
Namun karena pendeportasian belum dapat dilakukan dengan segera, maka kedua WNA tersebut diserahkan ke Rudenim Denpasar, pada waktu yang berbeda untuk diproses pendeportasiannya lebih lanjut.
Setelah kurang lebih 7 (tujuh) hari didetensi di Rudenim Denpasar, pada 18 Juli 2024, ACH akhirnya diberangkatkan ke Perth, Australia, sementara AFG yang telah didetensi selama 22 (dua puluh dua) hari, pada 19 Juli 2024, dirinya dideportasi ke negaranya, yakni Nigeria.
Saat dideportasi, keduanya dikawal oleh petugas Rudenim Denpasar, dan telah diusulkan dalam daftar penangkalan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Kepala Rumah Detensi (Rudenim) Denpasar, Gede Dudy Duwita, menerangkan bahwa ini adalah tindakan wajar yang diambil demi menegakkan hukum dan ketertiban di negara ini.
Ia berharap dengan langkah-langkah ini, Bali tetap menjadi destinasi yang aman dan tertib bagi wisatawan dan penduduk asing yang menghormati hukum dan peraturan yang berlaku.
“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan,” imbuhnya.
“Namun demikian keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi, dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” tutup Dudy.
Secara terpisah, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Bali, Pramella Y. Pasaribu, menegaskan komitmennya dalam menjaga keamanan dan ketertiban di Bali.
“Kami tidak akan mentolerir tindakan yang melanggar hukum dan meresahkan masyarakat, terutama dari warga negara asing. Pendeportasian ini merupakan bukti nyata bahwa kami serius dalam menegakkan hukum keimigrasian,” ucapnya.
“Bali adalah destinasi wisata yang terkenal dengan keramahannya, namun keramahan ini tidak boleh disalahgunakan. Kami berharap semua warga negara asing yang berkunjung atau tinggal di Bali dapat menghormati hukum dan budaya setempat,” ujar Pramella.(Ana)
Ikuti Berita Online Terupdate: https://panjinusantara.com