8 Perkara Disetujui Kajati Jatim Diterapkan Keadilan Restoratif 

8 Perkara Disetujui Kajati Jatim Diterapkan Keadilan Restoratif 

Surabaya, Panjinusantara.com – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Prof. (HCUA) Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA., CSSL., memimpin ekspose mandiri 8 perkara yang diajukan untuk penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Kamis (16/1).

Penghentian penuntutan berdasar Keadilan Restoratif dalam rangka melaksanakan penegakan hukum yang berorientasi pada konsep atau pendekatan Keadilan Restoratif.

Bacaan Lainnya

Kegiatan ini dilaksanakan secara virtual dan dihadiri oleh Wakajati, Aspidum, koordinator, serta para Kasi di Bidang Pidum Kejati Jatim bersama sejumlah kepala Kejaksaan Negeri, yaitu Kajari Surabaya, Kajari Tanjung Perak, Kajari Jombang, Kajari Lamongan, Kajari Nganjuk, dan Kajari Ngawi.

Delapan perkara tersebut terdiri dari tujuh perkara Oharda (Orang dan Harta Benda), dan 1 perkara penyalahgunaan narkotika.

Tujuh perkara orharda terdiri dari satu perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang memenuhi ketentuan Pasal 363 ayat (1) KUHP yang diajukan oleh Kejari Nganjuk.

Tiga perkara tindak pidana penganiayan yang memenuhi ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP yang diajukan oleh Kejari Tanjung Perak (2 perkara) dan Kejari Jombang (1 perkara).

Baca Juga : Pemerintah Desa Dapet Gelar Sosialisasi DBD dan Rembuk Stunting untuk Tingkatkan Kesadaran Masyarakat

Dua perkara tindak pidana penipuan yang memenuhi ketentuan pasal 378 KUHP atau 372 KUHP yang diajukan oleh Kejari Surabaya dan Kejari Tanjung Perak.

Satu perkara laka lantas yang memenuhi ketentuan pasal 310 ayat (1) Undang-undang RI No. 22 Tahun 2009 (Lalu lintas dan Angkutan Jalan) yang diajukan oleh Kejari Lamongan.

Satu perkara penyalahgunaan narkotika yang memenuhi ketentuan Pasal 111 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Atau Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tindak Pidana Narkotika) tang diajukan oleh Kejari Ngawi.

Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi bukti, bahwa negara melalui penegak hukumnya hadir memberikan humanisme dalam penegakan hukum dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Melalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang tercederai oleh rasa ketidakadilan.

“Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi, bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi kesalahan serupa,” ujar Kajati Jatim Mia Amiati.

Baca Juga : Kebakaran Besar di Gudang Spon Sukomanunggal Surabaya, Api Padam Setelah 3 Jam

Untuk itu, permohonan pengajuan Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam Perja No 15 Tahun 2020.

Perja tersebut mempunyai beberapa poin, terdiri dari:
Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun penjara.

Kedua, telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka.

Ketiga, hak korban telah dipulihkan kembali serta masyarakat merespons positif.

Keempat, khusus untuk perkara penyalahgunaan barkotika, penghentian penuntutan harus mempertimbangkan bahwa tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk dirinya sendiri (end-user).

Tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar dan kurir terkait jaringan gelap narkotika.@red.

Ikuti Berita Online Terupdate: https://panjinusantara.com

Pos terkait