Panjinusantara, Surabaya – Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong kembali terjadi pada pilkada tahun 2024, walaupun fenomena kotak kosong ini bukan suatu hal yang baru. Akan tetapi tetap mengejutkan masyarakat, yang memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia.
Kalau kita lihat dalam catatan sejarah, kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada 2015, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pilkada tetap dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon.
Dalam putusan tersebut, MK juga memberikan alternatif bagi pemilih dengan menambahkan kotak kosong sebagai pilihan, dan semenjak itu kotak kosong menjadi fenomena yang terus berulang di beberapa Pilkada berikutnya, termasuk pada tahun 2017, 2018, dan 2020.
Dilansir dari data KPU pertanggal 4 September 2024, ada 41 wilayah dengan satu pasangan calon alias akan memiliki lawan kotak kosong. Kondisi ini meningkat hampir 2 kali lipat dibandinkan pilkada tahun 2020, yang hanya berjumlah 25 calon tunggal lawan kotak kosong.
Kotak kosong dalam pilkada ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, trend kotak kosong berdampak buruk pada masa depan demokrasi di Indonesia, karena dengan adanya kotak kosong memperlihatkan minimnya kompetisi dan transparansi dalam pelaksanaan pilkada, kondisi ini menjadikan masyarakat tidak punya pilihan yang ideal dalam memilih pemimpin di daerah.
Ini juga merupakan cermin kegagalan sistem demokrasi yang sejatinya menghadirkan pilihan beragam bagi masyarakat dalam pemilihan umum. Demokrasi mestinya dipahami bukan hanya sebagai prosedural semata, melainkan sebuah sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil.
Baca Juga : Diduga Hubungan Asmara: Oknum Kepala Sekolah SD di Surabaya, Pemberi Fidusial Rela Gadaikan Mobil
Fenomena kotak kosong bukan hanya soal teknis politik, melainkan juga soal masa depan demokrasi Indonesia.
Pilkada secara langsung di Indonesia merupakan salah satu hasil dari perjuangan panjang amanat reformasi. Proses demokratis yang telah diperjuangkan dengan biaya mahal dan penuh tantangan, kini terancam ‘dimanipulasi’ oleh elite politik dengan cara memborong dukungan partai-partai politik atas nama koalisi.
Perlu kita ketahui bahwa demokrasi tercermin dalam aspek kompetisi, partisipasi, serta kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan dalam kontestasi politik termasuk kesempatan untuk menerima maupun menolak orang yang akan menjadi pemimpin dalam suatu daerah.
Jadi ada indikasi bahwa para politikus hanya memikirkan kepentingan-kepentingan pragmatis semata hanya untuk mendapatkan suara terbanyak dalam pilkada, bukan mengarah pada Pendidikan politik dalam membangun demokrasi itu sendiri.
Trend kotak kosong tak ubahnya memilih kucing dalam karung, tentu saja akan berdampak terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, ada berapa dampak yang akan ditimbulkan dalam fenomena kotak kosong ini mengurangi kualitas dari demokrasi itu sendiri.
Dengan calon tunggal, masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memilih pemimpin di daerah. Kondisi ini memaksa masyarakat memilih pasangan calon yang ada atau justru mereka akan memilih kotak kosong.
Kalau pilihannya adalah kotak kosong ini mendindikasikan bahwa masyarakat tidak percaya dengan pasangan calon yang ada. Gerakan perlawanan konstitusional atas kehadiran calon tunggal bisa dilakukan oleh masyarakat hanya dengan memilih kolom kotak kosong pada surat suara.
Baca Juga : Sita Barang Bukti 51 Paket Sabu: Polisi Tangkap Dua Pengedar Narkoba di Jombang
Menurunya tingkat partisipasi dalam pemilih.
Masyarakat akan malas datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, karena terbatasnya pilihan yang ada. Apalagi ada indikasi bahwa calon tunggal tersebut dianggap sebagai calon yang pro status quo, dengan partai pengusung yang pro dengan rezim yang berkuasa dan masyarakat akan menganggap suara mereka sia-sia.
Karena calon yang menang sudah ditentukan dengan proses yang “bisa diduga dimanipulasi”, dengan kondisi ini tentu saja pilihan masyarakat tidak akan datang ke TPS untuk memberikan suara mereka.
Semakin rendah tingkat partisipasi mengindikasikan legitimasi pemimpin yang terpilih juga rendah dan ketika legitimasi pemerintah terpilih rendah, masyarakat akan cederung tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan.
Keterlibatan masyarakat menjadi rendah dalam mengontrol jalannya pemerintahan, ini akan melahirkan pemimpin yang otoriter dan tanpa kontrol di daerah.
Beredar banyak issue-issue baik itu gruop Whatsap Komunitas Kaum emak-emak dan para bapak-bapak serta kaulah muda-mudi, yang suka bermensos (media sosisial) mengangkat issue diduga berkampaye hitam yakni “Tak Cair Coblos Kotak Kosong”.
Disinila tantangan tugas tim sukses pendukung calon harus berani mengembar-gemborkan, bahwa calonya memastikan menepati janji jikalau terpilih lagi.
Ya semisal memberanikan diri kontrak politik kepada sasaran pemilih untuk sebagai bukti jikalau terpilih lagi siap dalam menerima masukan aspirasi rakyat dan berani bertindak merespon warganya (Rakyat).
“Artikel Eko Gagak Aktivis 98, Penulis Opini Ngalor Ngidul”
Ikuti Berita Online Terupdate: https://panjinusantara.com