“Menurut Penasehat Hukum Sukriyanto S.H., M.H. Dalam Dupliknya, Suprapti Minta Dibebaskan”.
Surabaya – Sidang lanjutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Perkara nomor 99/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby, Suprapti, Mantan Kepala Desa (Kades) Gemarang, yang tersandung dugaan perkara korupsi Pembangunan kolam renang Tahun Anggaran 2018- 2021 senilai Rp 1 miliar di Dusun Mundu, Desa Gemarang, Madiun. Sidang diketuai Majelis Hakim Irlina SH., MH., dengan agenda pembacaan Duplik (tanggapan atas Replik Jaksa). Sidang digelar diruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (28/10/2025).
Pembacakan Duplik disampaikan oleh Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) Sukriyanto SH.,MH., dalam sidang lanjutan Suprapti, Mantan Kepala Desa (Kades) Gemarang, Penasehat Hukum Sukriyanto SH.,MH, memohon dengan hormat kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang mengadili perkara ini berkenan memutuskan, menyatakan Suprapti tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara a quo.
“Membebaskan Suprapti dari semua dakwaan tersebut (vrispraak) sesuai pasal 191 ayat (1) KUHAP. Atau setidak-tidaknya melepaskan Suprapt dari semua tuntutan hukum (onstlaag) sesua pasal 191 ayat (1) KUHAP. Dan mengembalikan nama baik, harkat, dan martabat Suprapti,” ucapnya.
Atau jika majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak dasar sebagai manusia.
Menurut PH Sukriyanto SH.MH, bahwa replik Jaksa Penuntut Umum tidak didukung oleh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan secara utuh, dan bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku. Dan gagal membangun argumentasi hukum yang telah PH sampaikan dalam nota pembelaan (pledoi) dalam perkara a quo.
“Kami tegaskan kembali, bahwa unsur unsur setiap orang tidak terbukti karena tidak adanya niat jahat (mens-rea) Terdakwa, untuk melakukan tindak pidana korupsi. Melainkan beretikad baik untuk pembangunan desa,” tegasnya.
Unsur melawan hukum tidak terbukti karena perbuatan Suprapti lebih ke ketidak sempurnaan administratif atau mal-administrasi, bukan tindak pidana korupsi yang disertai niat jahat.
Penafsiran Penuntut Umum terhadap diskresi dan regulasi pembangunan desa adalah keliru dan terlalu literalistic. Sedangkan unsur “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi”, tidak terbukti, karena Penuntut Umum gagal membuktikan adanya aliran dana atau penambahan kekayaan tidak wajar pada terdakwa. Penerapan pasal 37 A UU TIPIKOR oleh JPU adalah tidak proporsional dan mengabaikan beban pembuktian utama JPU.
Sedangkan unsur “Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara“, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) oleh auditor internal Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tidak memiliki independensi dan kekuatan pembuktian yang final. Serta kerugian yang diklaim tidak nyata dan tidak pasti mengingat adanya asset fisik proyek.
Dalam fakta persidangan secara gamblang membuktikan bahwa Jaksa penuntut Umum secara nyata tidak melibatkan BPK atau BPKP dalam menentukan perhitungan kerugian negara dalam perkara ini.
Jaksa penuntut Umum semata-mata mendasarkan klaim kerugian negara sebesar Rp 1.04 miliar pada PKKN yang dibuat dan dilakukan oleh auditor internal Kejaksaan Tinggi Jatim.
Jaksa telah menunjukkan inkonsistensi dan tidak dapat diterima dalam pembuktian kerugian negara. PKKN internal Kejaksaan menentukan kerugian negara secara total loss. Yaitu menganggap keseluruhan anggaran proek hilang. Ini adalam klaim yang bertentangan secara diametral dengan fakta persidangan yang disajikan oleh Jaksa Penuntut Umum itu sendiri melalui keterangan Ahli Dr. Edi Purwanto ST, MT –Teknik Sipil dari UNS, yang di bawah sumpah menerangkan bahwa, pekerjaan loket kolam renang telah selesai 67,72 %. Pekerjaan kolam renang telah selesai 63, 38%, pekerjaan pagar kolam renang telah selesai 81,87 %, pekerjaan pipanisasi selesai 95,54 %.
Dan secara keseluruhan, bobot volume pekerjaan yang dilaksanakan di lapangan sebesar 70,40 %. PPKN berlawanan dengan fakta materiil JPU sendiri, PKKN internal Kejaksaan yang mendalilkan kerugian total loss ini secara nyata dan mutlak berlawanan dengan fakta materiil yang diungkapkan oleh Ahli yang dihadirkan oleh JPU itu sendiri.
Bagaimana mungkin suatu proyek yang telah selesai sebagian besar (70,4 %) dianggap sebagai total loss ? Ini menunjukkkan, ketidakcermatan dalam menyusunm dan mengajukan pembuktian.
Dengan demikian, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat substansial. Oleh karena itu berdasarkan prinsip hukum in dubio pro reo dan asas keadilan. Suprapti haruslah dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum.(Har)
Ikuti Saluran Media Panjinusantara di aplikasi WhatsApp, Instagram, Tiktok, Facebook, Channel Youtube (Silahkan klik tulisan nama aplikasi)






