Tren Rokok Ilegal 2025, Eko Gagak Angkat Suara: Sanksi Penjara Penjual dan Pembeli atau Penghisap Rokok Ilegal

Surabaya – Tren konsumsi rokok ilegal 2025 semakin masif dan marak beredar luas di tengah masyarakat dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan rokok legal. Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), karena berdampak langsung terhadap penerimaan negara dan kesehatan masyarakat.

Sejak awal 2024, pemerintah melanjutkan pemberlakuan kenaikan tarif cukai rokok, tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No.192/PMK.010/2021 yang mengatur tarif cukai hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris.

Bacaan Lainnya

Kenaikan Harga Rokok Legal Dorong Peredaran Rokok Ilegal

Kenaikan harga rokok legal mencapai rata-rata 10% untuk rokok konvensional, 15% untuk rokok elektronik 15% diikuti tarif kenaikan CHT, dan dan hasil pengolahan tembakau lain rata-rata 6%.

Selama ini, pemerintah di dalam menentukan kebijakan cukai berupaya bersandar pada empat pilar kebijakan yang meliputi : pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal.

Baca Juga: Eko Gagak Angkat Suara: Sumpah Pemuda Hanya Sebatas Seremonial Semata

Terkait pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kebijakan kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun.

Fenomena tembakau tak pernah lepas dari kontroversi dalam setiap kebijakan bagai pisau bermata dua kerap menjadi polemik. Tembakau sebagai mata pencaharian ribuan petani dan mata rantai ekonomi industri perdagangan juga menjadi sumber pendapatan negara.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik, jumlah petani tembakau saat ini diperkirakan 689.360 orang, dengan total luas area pada kisaran 221 ribu hektar tersebar di 15 provinsi.

Di balik hasil kesejahteraan ekonomi terdapat kesehatan sebagai dampak negatif yang ditimbulkan dari produk tembakau dan sepatutnya perlu diperhatikan. Dualisme kepentingan ekonomi dan kesehatan kerap bertolak belakang yang tak pernah habis untuk dikupas.

Baca Juga: Semangat Sumpah Pemuda, Kanit Regident Satpas Colombo Surabaya Ajak Generasi Milenial Jadi Pengemudi Tertib dan Bertanggung Jawab

Kerugian Negara Akibat Rokok Ilegal

Peredaran rokok ilegal menyebabkan potensi kehilangan penerimaan negara hingga Rp15–25 triliun per tahun dari sektor Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan pajak lainnya seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), hingga pajak daerah.

Padahal, sebagian besar penerimaan tersebut digunakan untuk subsidi BPJS Kesehatan dan pembangunan nasional, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.128/PMK.07/2018.

Dari aspek penindakan, data DJBC mencatat, sepanjang 2023, petugas berhasil menyita 253,7 juta batang rokok ilegal. Angka ini melonjak drastis pada 2024 menjadi 710 juta batang dengan nilai mencapai Rp1,1 triliun. Pada 2025, DJBC kembali mencatat penyitaan 745,9 juta batang rokok ilegal dari 12.041 kasus penindakan hingga September.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah rokok ilegal diproduksi tanpa melalui proses uji laboratorium ?. Ataukah faktor kesengajaan hingga meloloskan dari pengawasan kesehatan ?.

Bagaimana kualitas rokok ilegal tentang kadar nikotin, tar, dan zat adiktifnya ?. Dibanding rokok legal berkomposisi yang sesuai regulasi. Lantas, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi korban jiwa akibat mengonsumsi rokok ilegal ?.

Baca Juga: Satpas SIM Colombo Surabaya Hadirkan Inovasi Pelayanan Ramah Disabilitas: Wujud Kesetaraan Hak dalam Berkendara

Bahaya Kesehatan Tak Pandang Legal atau Ilegal

Baik rokok legal maupun ilegal sama-sama memiliki dampak buruk terhadap kesehatan. Keduanya meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, kanker paru-paru, dan gangguan pernapasan.

Namun faktanya, indikator prevalensi perokok tidak mengalami perubahan yang signifikan. Rokok ilegal banyak terjadi di wilayah area perkebunan tembakau yang luas dengan jumlah perusahaan rokok terbanyak.

Ciri dan Sanksi Rokok Ilegal

Di sisi lain secara ringkas, masyarakat perlu mengenali ciri-ciri rokok ilegal sebagai langkah preventif. Pemahaman ini penting agar masyarakat tidak terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam peredaran rokok tanpa izin resmi.

Selain itu, perlu diketahui pula sanksi hukum yang dapat menjerat pelaku pemalsuan pita cukai, produksi, peredaran, maupun penjualan rokok ilegal sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, antara lain sebagai berikut:

1. Rokok tanpa pita cukai (rokok polos): pidana penjara paling lama 5 tahun.

2. Rokok dengan pita cukai palsu: pidana penjara paling lama 8 tahun.

3. Rokok dengan pita cukai bekas pakai: pidana penjara paling lama 8 tahun.

4. Rokok dengan pita cukai berbeda: sanksi administrasi dan denda sesuai ketentuan.

Baca Juga: Diduga Dakwaan JPU Dinilai Tak Didukung Fakta Terungkap Dalam Persidangan dan Bertentangan dengan Kaidah Hukum

Sanksi pidana diterapkan bukan hanya untuk produsen dan penjual tetapi pemakai atau penghisap rokok ilegal juga terancam pidana berdasarkan pasal 54 UU No.39 Tahun 2007 bahwa yang mengedarkan, menimbun, membeli, bahkan mengonsumsi rokok ilegal dikenakan sanksi tindak pidana hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda Rp. 200 juta rupiah.

Seruan Penegakan Hukum Tanpa Tebang Pilih

Rokok ilegal biasanya dijual di warung atau kios, toko kelontong, dan di sejumlah pedagang asongan yang secara terang-terangan menjajakan dipinggir jalan raya.

Publik pun mempertanyakan: siapa di balik jaringan besar ini?. Apakah peredaran rokok ilegal diduga memiliki “backing” tertentu?. Ataukah diduga ada keterlibatan dari oknum instansi sendiri, seperti di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ?. Mengapa semua produsen utama rokok ilegal juga distributor tidak pernah terjerat oleh hukum ?.

Baca Juga: Pledoi Kasus Dugaan Perdagangan Kimia: Pembela Tegaskan Terdakwa Tak Terlibat Operasional PT SHC

Pemerintah harus bersikap tegas dan tidak tebang pilih dalam melakukan penindakan. Peningkatan pengawasan serta penegakan hukum wajib dilakukan terhadap berbagai pelanggaran, termasuk tindakan penyegelan terhadap perusahaan rokok yang beroperasi tanpa izin resmi.

Selain itu, regulasi terkait penggunaan mesin pelinting rokok juga perlu diperketat agar tidak disalahgunakan untuk memproduksi rokok ilegal.

Sinergi antarinstansi menjadi kunci utama. Kerja sama antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kepolisian, TNI, Satpol PP, lembaga peradilan, serta otoritas kesehatan harus diperkuat dan dijalankan secara berkelanjutan.

Koordinasi lintas lembaga ini penting untuk memastikan setiap pelanggaran dapat ditangani secara komprehensif dan transparan.

Masyarakat pun diharapkan dapat berperan aktif dalam mendukung pemberantasan rokok ilegal. Jika menemukan adanya indikasi peredaran rokok tanpa cukai di lingkungan sekitar, segera laporkan ke Kantor Bea dan Cukai terdekat, atau melalui Contact Center Bravo Bea Cukai di nomor 1500225, atau kepada aparat penegak hukum seperti Kepolisian, TNI, maupun Satpol PP.

Penulis Artikel : Eko Gagak

 

Ikuti Saluran Media Panjinusantara di aplikasi WhatsApp, Instagram, Tiktok, Facebook, Channel Youtube (Silahkan klik tulisan nama aplikasi)

Pos terkait